Unknown On Saturday, March 29, 2014



"Assalamualaikum! Ngapain sih, siang - siang gini bengong gitu? Mending baca qur'an deh!" seru Dhani sambil menepuk pundak Alif dari belakang.
Alif mendelik. "Waalaikumsalam. Nggak usah mukul - mukul gitu, Dhan. Lagian ini nggak siang juga. Ini udah jam tiga-an. Ganggu aja, deh." tukasnya.
"Yah, afwan. Ketum marah ngeri nih. Kalo marah nanti malah disuruh turun jabatan sekarang." canda Dhani yang kemudian ikut duduk di sebelah Alif. "Kenapa diem aja? Ada masalah apa?"
"Dhan,"
"Kenapa?"

"Berapa orang yang ikut liqo kemarin?"
"Lima. Kok, nanyanya gitu? Bukannya kemaren lo ikut ya?" tanya Dhani heran.
Alif menghela nafas panjang. "Berapa jumlah anak ikhwan di rohis?"
"Hmm, sebentar..." sahut Dhani. "...tujuh, delapan, ..., banyak lif. Nggak kehitung pakai jari juga. Belasan sih, kayaknya. Kenapa sih? Jangan sok misterius kayak detektif, deh."
"Berapa jumlah ikhwan kelas satunya?" lanjut Alif.
"Satu," Dhani tertegun. "Sedikit banget, ya? Lif, bentar lagi kan kenaikan kelas. Kita juga punya deadline ngurus kapalselam yang harus direalisasiin September. Kalau anak kelas satu yang sekarang segini, mau jadi apa rohis nanti?" keluhnya.
"Itu sadar juga akhirnya," ledek Alif.
"Terus kita harus gimana?"
"Kita harus investigasi, Dhan!" jawab Alif antusias dan segera bangkit meninggalkan Dhani sendiri di depan masjid.
Dhani menaikkan alis. "Investigasi? Ini bukan Sherlock Holmes, Lif!" serunya protes.
-
"Said! Said! Jangan buru - buru dong," keluh Faiz yang sudah berlari mengejar Said dari ujung koridor.
"Apaan? SMS aja, jangan sekarang. Buru - buru nih, mau les!" seru Said.
"Bentar, bentar. Tunggu,"
Said menghentakkan kakinya dan melirik jam di pergelangan tangannya dengan gusar. "Kenapa, iz? Penting?"
"Iya, sebentar mau tanya. Habis di sms nggak pernah ngebales," balas Faiz.
"Yaudah, buruan. Mau les ini, tadi aja keluarnya udah lama gara - gara itu guru matematika,"
"Liqo yuk, besok. Udah berapa minggu nggak ikut liqo, iz. Yang lain juga banyak yang nggak ikut," ajak Faiz.
"Liqo ya," sahut Said. "Nggak, deh makasih iz. Udah males ikut kayak gitu. Jadi cuma mau nanya itu? Yaudah, duluan ya," lanjutnya sinis.
Faiz menghela nafas panjang. Said orang ketujuh yang bersikap sinis hari ini. Besok berapa muka lagi? Faiz mengeluh dalam hati.
-
"Alif, antum itu terlalu keras sama mereka. Jadinya mereka nggak kerasan di rohis dan lebih memilih nggak ikut." cetus Syifa saat rapat pengurus inti siang itu. Alif hanya mengerutkan dahi.
"Iya, antum harusnya bisa mencontoh anak - anak akhwat,"
"Ha? Maksudnya apa? Kita nggak pernah keras kok, kan emang asas kita dari awal nggak ada senioritas," bela Dhani.
"Bukan gitu maksudnya," ralat Syifa.
"Anak - anak ikhwan itu keliatan. Iya sih, asasnya bener nggak ada senioritas. Tapi nyatanya, kalian nggak bisa ngilangin sekat senioritas itu. Sekarang, lihat aja deh. Kalian kalo lagi diskusi ngumpulnya cuma sama satu angkatan aja. Dari tempat duduknya aja kalian nggak mau membaur. Gimana mereka mau nyaman sama kalian kalau kaliannya aja kelihatan strict sama mereka?" cetus Alfa.
"Kayaknya nggak gitu deh,"
"Apanya yang nggak gitu? Coba tanya Faiz, deh. Dia satu - satunya yang bisa suffer cuma gara - gara dia adik alumni kan? Gara - gara adik alumni jadi kalian santai aja ke dia karena kalian udah biasa main bareng. Ke yang lain? nonsense!"
"Oya, Lif." potong Rizki. "Faiz pernah bilang, anak - anak kelas satu itu pada males gara - gara kita nggak adil waktu ngajakin yang ikut lomba."
"Nggak adil gimana? Toh, yang bisa kan yang itu - itu aja." tanya Alif.
"Lif, setiap orang punya passionnya masing - masing. Gimana mau maju kalo kita cuma ngandelin pilihan - pilihan aja," jawab Syifa.
"Wah, lif. Kayaknya antum ketinggalan jaman deh. Sekarang pemimpin yang otoriter udah nggak musim lagi," celetuk Alfa.
"Apaan sih, otoriter? Jangan ngeledek terus, kenapa. Udah dari kemaren kena korban jahil Dhani sama Rizki. Sekarang rapat jadi bulan - bulanan lagi!" protes Alif.
Dhani tertawa lebar. "Lagian lif, jadi ketua itu koordinasi. koor-di-na-si! Jangan cuma nasinya aja yang diambil!" Alif mendelik.
"Sudah, sudah. Alif, anak rohis itu banyak. Total seluruhnya sendiri kalau kita lagi syuro bisa sampai lima puluhan. Ikhwannya sendiri mencapai dua puluhan, sementara kuota lomba hanya separuh bahkan sepertiga dari jumlah itu. Wajar kalau mereka marah karena mereka selalu mendapat perlakuan yang nggak adil dari kalian. Harusnya kalian bijak.. Bukan cuma orang yang kalian pilih aja yang punya passion. Yang lain juga punya dan siapa tau mereka bisa lebih baik dari mereka yang dipilih," jelas Syifa.
"Caranya, anti?"
"Caranya gampang. Seleksi. Makanya update, lif." jawab Alfa.
Alif merengut. "Iya, syukron."
"Yang pertama, lihat orang - orang disekitar lif. Amati satu - satu.. Banyak orang yang sebenernya punya passion lebih dan antusiasme lebih tinggi tapi sering disia - siain orang lain. Kedua, jangan biarkan jabatan ketum menjadi momok buat ninggiin ego sama gengsi. Justru dengan jabatan itu kita harusnya bisa down to earth. Yang terakhir, kasih mereka support yang besar sama rata. Objektif. Jangan memihak hanya dengan alasan tertentu,"
"Jadi... rapat kali ini fix ya, selesai? Kita udah tau pokok masalahnya dimana, kan sekarang kenapa anak - anak ikhwan pada kabur gitu? Capek nih nulis notulennya. Sarannya panjang - panjang banget," keluh Dhani yang disambut tawa oleh peserta rapat siang itu.
-
Passion. Iya, passion. Itu yang selama ini tidak pernah ia lihat dari orang - orang. Kebiasaan menganggap semua orang itu sama, menunjuk orang sesukanya. Tampaknya banyak yang terlewat di awal kepemimpinannya. Masih ada satu semester lebih masa jabatannya. Alif tersenyum mendengar kata - kata mentornya, kak Adi.
"Jangan pernah sia - siain orang yang sebenernya punya passion dan bisa menuntun kalian semua ke arah yang lebih baik. Tugas kamu sebagai ketua yang harus nyari passion - passion mereka. Bawa mereka, tuntun mereka buat ngeraih yang terbaik di masa jabatan kamu. Show up their passion to reach the glory!"

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments